Selasa, 31 Januari 2012

PT Dirgantara Indonesia Ingin Terbang Tinggi, Kurang Proteksi

Komponen pesawat buatan PT DI (Foto: Kina Edisi 01 - 2011)

Berkembangnya PT Dirgantara Indonesia memiliki nilai strategis nasional sebagai bangsa kepulauan. Sayangnya, regulasi yang membolehkan pembelian pesawat bekas membuat PTDI daya saingnya rendah. Tidak adanya proteksi dan beban utang yang tinggi membuat kinerja keuangan perusahaan terus sakit. Padahal, keberadaan industri alat utama sistem senjata (alutsista) harusnya menjadi salah prioritas untuk dikembangkan oleh pemerintah.

Bukti tidak adanya proteksi dari pemerintah adalah diperbolehkannya pembelian pesawat bekas. “Kebijakan dibolehkannya membeli pesawat bekas itu dimulai tahun 2000. Jelas itu bagi industri nasional banyak merugikan. Idealnya pemerintah berpihak. Karena kita dipercaya oleh pihak luar negeri, sementara kebijakan di dalam negerinya sangat tidak terintegrasi,” tegas Direktur Aerostructure PT Dirgantara Indonesia Andi Alisjahbana kepada Majalah KINA akhir pekan kemarin.

Bukti dipercayanya PTDI oleh pihak luar negeri adalah banyaknya pesanan dari berbagai perusahaan yang bergerak di industri pesawat terbang seperti Airbus, berperan sebagai subkontrak program yaitu untuk jenis A330, A340 dan A380. Boeing juga mensubkontrakkan untuk beberapa bagian dari pesawat yang diproduksinya kepada PTDI yaitu untuk Boeing 757. Demikian juga dengan Mitsubishi Heavy Industri yang mensubkontrakkan beberapa bagian dari produk yang dibuatnya. “Beberapa waktu lalu, kami pun menyerahkan komponen Tailboom MK II helikopter EC 225/725 kepada Eurocopter, perusahaan gabungan dari Aerospatiale Perancis dan Daimler Chrysler Aerospace AG Jerman,” jelas Andi.

Menurut Andi, komponen airflame Helikopter mutakhir EC 725 (versi militer) dan EC 225 (versi sipil) itu merupakan realisasi kerjasama yang ditandatangani oleh PTDI dengan Eurocopter pada tahun 2008 lalu. “Ini bukti nyata kami dipercaya pihak luar negeri. Kami dinilai mampu memproduksi komponen helikopter mutakhir. Pesanannya 125 unit komponen airflame (tailboom dan fuselage) sampai 2020 nanti. Jadi jika ditanyakan, apakah kami mampu menjadi global supplier untuk komponen pesawat terbang, tentu saja kami mampu,” tegasnya.

Sebagai informasi, kerjasama dengan Eurocopter adalah lanjutan kerjasama yang telah dirintis sejak tahun 1978. Ketika itu, PTDI merakit helikopter NSA-330 Puma, kemudian dilanjutkan dengan membuat airflame NAS-332 Super Puma yang dikerjakan PTDI sejak 1981. Di sisi lain, tidak terintegrasinya kebijakan pengembangan industri alutsista terlihat dari kebijakan yang tidak protektif dan suku bunga perbankan yang tinggi. Bunga kredit modal kerja yang di atas dua digit membuat industri alutsista harus rendah daya saingnya.

 “Bandingkan dengan China, mereka bisa memberikan bunga kredit yang kecil kepada industrinya, antara 3 bahkan 2 persen. Kita bisa belasan persen bunga kreditnya. Inginnya sih ada subsidi bunga dari pemerintah,” tegasnya. Padahal menurut Andi, sistem pengembangan industri alutsista harusnya terintegrasi satu sama lain. Dari mulai kebijakan fiskal, pembiayaan dan dukungan pembeliannya. Karena industri alutsista pembeli terbesarnya adalah pemerintah.

“Setiap negara memproteksi dan mendukung industri alutsistanya. Jadi keberpihakan adalah penting agar industri alutsista bisa berkembang,” tegasnya. Di sisi lain, lanjut Andi, keberpihakan kepada industri alutsista adalah warisan dari pendiri bangsa ini yang sangat ingin punya industri strategis yang kuat. “Ini soal keinginan bangsa, spirit awal para pendiri bangsa ini. Jadi memiliki nilai strategis nasional, apalagi melihat kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan,” tandasnya. 

Transformasi Bisnis 

Pesawat C-212 di hanggar PT DI (foto: Indonesia Finance Today)
Kondisi keuangan PTDI masih merah. Karena itu, menurut Andi, pihaknya terus berjuang agar utang perusahaan yang hingga kini berjumlah Rp 3,9 triliun dikonversi menjadi Penyertaan Modal Negara (PMN). Perseroan berharap konversi tersebut bisa menyehatkan kondisi perseroan yang masih sakit. “Kami berharap utang tersebut bisa di PMN-kan walaupun tidak dalam bentuk cash. Ini akan memudahkan kami untuk bergerak dan mendapatkan kontrak-kontrak baru,” katanya.

Utang tersebut, bukan semuanya dibayar ke pemerintah, namun juga pinjaman perbankan dan PT Pengelola Aset (PPA), serta denda keterlambatan pengiriman dan pajak. Dengan adanya konversi utang tersebut, maka debt to equity ratio (rasio ekuitas) akan membaik dan perusahaan pelat merah itu bisa mencari utang guna melaksanakan berbagai proyeknya. “Yang paling sederhana kalau kita bisa mengembangkan CN-235 next generation ada potensi jangka pendek seperti di TNI-AU dan TNI-AL. Emir Qatar juga telah memutuskan untuk membeli enam unit CN-235, begitu juga dengan korsel mereka membutuhkan 8 unit pesawat,” katanya.

 Hingga saat ini PTDI telah memproduksi delapan pesawat terbang per tahun. Namun, tingkat produksi sebesar itu masih belum bisa meraup untung akibat kondisi utangnya yang terlalu besar tadi. “Kita memang memiliki kesempatan untuk melakukan recovery, tetapi karena kesulitan cashflow kami mengurangi kontrak yang kami peroleh. Kami pernah laba di tahun 2006, kemudian merugi kembali,” ujarnya. Selain mencoba memperjuangkan agar utangnya berubah menjadi PMN, PTDI juga berupaya meningkatkan penjualan produknya, utamanya untuk pasar di dalam negeri. Meski dihadapkan pada tantangan diperbolehkannya pembelian pesawat bekas.

Andi mengaku, PTDI terus masuk ke pesawat sipil karena melihat tingginya kenaikan jumlah penumpang di sektor transfortasi udara yang mencapai 24 persen per tahunnya. Salah satunya, PTDI akan membuat pesawat Nusantara-219 (N-219). Pesawat komersial ini disiapkan sebagai pesawat paling murah di kelasnya, karena 70 persen komponen pesawat buatan lokal. Hanya mesin saja yang didatangkan dari luar. Nantinya N-219 akan menjadi pesawat buatan Indonesia kedua setelah N-250.

 “Kemungkinan kita akan gunakan mesin dari Kanada, sedang aviasi dari Amerika dan Eropa,” kata Andi. Menurutnya, pengembangan N219 perlu waktu tiga tahun. Saat ini prosesnya akan menginjak tahun pertama. Rencananya, kata Andi, 2014 nanti dua prototype N-219 sudah siap diujicobakan terbang. Sedangkan gambar desain pesawatnya sudah ada. “Sekarang kita sedang mendesain dan menyiapkan prototypenya, baru tahap pre-elimenery design,” jelas Andi. N-219 memiliki kapasitas 19 penumpang.

Mesin pesawat memakai dua kapasitas 850 Shaft Horse Power (HP). “30 persen pesawat, yakni mesin dan aviasi, kita datangkan dari luar. Pesawatnya kami rancang sesuai standar FAA/EASA. Indonesia dan Afrika akan butuh mengingat kondisi geografisnya membutuhkan pesawat yang berbadan sedang,” kata Andi. Andi enggan menyebutkan harga proyek N 219. Sebagai perbandingan, nantinya N-219 akan bersaing dengan pesawat sejenis seperti Harbin Y-12 buatan Cina yang harganya sekira USD 4,5 juta.

 “Pengembangan N 219 ini kita memang terkendala dan. Kita perlu dukungan pemerintah dan swasta,” harap Andi. Di luar itu, pihaknya juga terus mengembangkan bisnis komponen dengan memperkuat kapasitas komponen pesawat mengingat permintaannya sangat tinggi. “Termasuk dalam hal jasa maintenance, kami menyediakan dan menjadi salah satu sumber pendapatan perusahaan,” katanya.

 Di luar bisnis industri pesawat, Andi mengungkapkan jika pihaknya juga mengembangkan industri terkait, seperti alat turbin dan propulasi bahkan untuk pekerjaan software simulator di perbankan atau pemerintah. “Itu dikerjakan anak perusahaan kami,” katanya. Tentunya, apapun yang dilakukan PTDI, tetap saja kata kuncinya keberpihakan dari pemerintah untuk memproteksi dan menaikkan daya saing industri alutsista dengan berbagai kebijakan yang mendukung.

Sumber: Majalah Karya Indonesia Edisi 01 - 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar