Selasa, 31 Januari 2012

Siap Penuhi Kebutuhan Peralatan Militer Nasional, Pindad Perlu Dukungan Penuh Pemerintah

Panser Canon buatan Pindad (foto: arc.web.id)

Kemampuan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis sudah cukup memadai. Namun untuk mendorong agar industri alutsista nasional lebih berkembang lagi, harus ada kebijakan yang berpihak dari pemerintah. SALAH satu industri alat utama sistem persenjataan (alutsista) itu adalah PT Pindad (Persero).Produknya pun sudah sangat dikenal dunia, utamanya senapan serbu SS2 yang diakui sebagai salah satu senjata serbu terbaik dunia.

Oleh Pindad, SS2 telah diproduksi menjadi beberapa versi, SS2-V1, SS2-V2 dan SS2-V4. SS2 adalah senapan serbu generasi baru kaliber 5,56 x 45 mm dengan laras kisar 7. SS2 cukup ringan, handal dan memiliki akurasi tinggi, dengan menggunakan popor lipat sehingga fleksibel untuk digunakan sesuai kebutuhan. SS2 pun dapat menggunakan mechanical maupun optical sight. Bahkan dapat pula dilengkapi dengan berbagai asesoris seperti silencer, sangkur, berbagai tipe pelontar granat dan yang lainnya.

Deputi Direktur Bidang Litbang PT Pindad Triono Priohutomo menyatakan, saat ini diproduksi sekitar 10 ribu unit SS2 dalam satu tahunnya. “Kapasitas produksi kita mencapai 10 ribu unit per tahun, dengan berbagai versinya,” tegas Triono kepada Karya Indonesia di Bandung, pekan lalu. Bahkan, direncanakan akan dikembangkan kendaraan tank tempur ringan, untuk memenuhi kebutuhan TNI Angkatan Darat. Panser Anoa 6 x 6 pun sedang dikerjakan bekerjasama dengan Doosan DST Korea Selatan. Selain itu,

Pindad pun memproduksi mortir, pistol, revolver, riot control, bom, amunisi dengan berbagai kaliber, granat, dan berbagai peralatan militer lainnya. Selain peralatan militer, Pindad pun memproduksi peralatan untuk industri yang bersifat komersial. Pengembangan produk untuk industri yang bersifat komersial dilakukan karena masih adanya sisa kapasitas yang harus dioptimalkan. PT Pindad, kompetensi dasarnya di bidang produk kebutuhan militer.

Keunggulan Operasional

Untuk menjadi industri alutsista kebanggaan bangsa, manajemen PT Pindad terus berbenah. Pada tahun 2011 ini, ada tiga fokus kerja yang akan dilakukan. Pertama, membenahi kualitas sumber daya manusia sebagai faktor utama kinerja perusahaan. Selain melakukan pembenahan pegawai, dilakukan rekrutmen tenaga baru dan melakukan pendidikan lanjutan untuk pegawai potensial. “Sudah lama kita tidak melakukan rekrutmen pegawai baru.

Ini perlu untuk kesinambungan organisasi perusahaan,” tandas Triono. Selain membenahi sumber daya manusianya, manajemen juga bergerak untuk membenahi mesin produksi yang sudah lumayan tua. Dengan kondisi mesin produksi yang ada, optimalisasi produksi menjadi sulit. Karena kapasitas optimalnya telah turun. Karena itu manajemen PT Pindad berupaya merehabilitasi mesin. Maklumlah, mesin itu telah beroperasi sejak tahun 1986. “Setidaknya dibutuhkan dana Rp 363,5 miliar untuk merehabilitasi mesin produksi,” tegas Triono Prio. Tentu saja keinginan itu bukan tanpa alasan. Dalam rangka menggenjot produksi dan meningkatkan kinerja, optimalisasi mesin produksi adalah harga mati.

Apalagi jika dihitung-hitung, masih ada yang belum dipenuhi pemerintah terkait dengan modal dasar perusahaan. Jika modal awal PT Pindad adalah 367,5 miliar dan Rp 277,3 miliar melalui skema Subsidiary Loan Agreement (SLA), idealnya ada yang harus dipenuhi pemerintah, paling tidak senilai kebutuhan dana rehabilitasi mesin tersebut. Menurut Kepala Departemen Kerjasama Usaha PT Pindad Tatang Sugiana, usulan agar ada dana segar untuk rehabilitasi mesin sesungguhnya sudah diajukan lama, yaitu tahun 2008.

 “Kita sudah ajukan ke Kementerian Keuangan dan Kementerian Negara BUMN. Harapannya segara dipenuhi karena ini cukup mendesak. Kami cukup optimis karena sinyal kebijakan pro industri pertahanan nasional sudah terlihat,” tegasnya. Selanjutkan, akan dilakukan upaya membenahi proses bisnis sehingga akan mampu meningkatkan kualitas produk dan efisiensi dalam proses. “Kami telah mulai menerapkan sistem informasi yang terpadu dalam proses bisnis,” lanjut Tatang.

Keberpihakan

Industri pertahanan nasional itu tidak bisa tumbuh tanpa dukungan dan keberpihakan pemerintah. Jika dukungannya setengah-setengah atau banyak menghambat, waktu yang akan menghukum dengan lesunya industri pertahanan nasional, karena tidak akan mampu bersaing. Jangan kan untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pun akan sangat kesulitan. Dukungan pemerintah dapat berupa regulasi yang memacu kinerja industri pertahanan nasional, bukan sebaliknya.

Tatang Sugiana pun mencontohkan, bagi PT Pindad, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2003, tentang perubahan atas PP No.146 Tahun 2000 tentang impor dan atau pajak tertentu dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) cukuplah memberatkan. Karena menurut Tatang, yang mendapatkan fasilitasnya hanyalah PT. KAI, TNI/Kemenhan, dan lain-lain. “Akibatnya kan industri dalam negeri seperti kami, PT. INKA, PT. Barata, dan yang lainnya bersaing dalam kondisi yang tidak seimbang, karena tidak mendapatkan fasilitas pembebasan PPN impor. Yah, memang kami mendapatkan pembebasan PPN, tapi khusus untuk bahan senjata dan amunisi saja. Idealnya sih dibuat aturan untuk pembebasan PPN impor bahan harus diberlakukan juga untuk produsen dalam negeri,” tegasnya.

Regulasi lain yang juga dirasakan berat oleh Pindad adalah Keputusan Presiden RI No.80 Tahun 2003 tentang pedoman pengadaan barang/jasa pemerintah dan Peraturan Presiden RI No. 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Poin yang cukup memberatkan adalah adanya kewajiban bank garansi untuk jaminan atas pengadaan barang/ jasa. Akibatnya, kata Tatang, hal tersebut menambah beban operasional. “Harapannya ya bisa diganti dengan jaminan tertulis dari manajemen, komisaris atau pemegang saham. Pindad ini kan bukan perusahaan swasta, punya pemerintah juga,” katanya.

Lebih lanjut Tatang menjelaskan, regulasi lain yang harus diperjelas dengan petunjuk pelaksanaan yang lebih detail adalah Inpres Nomor 2 Tahun 2009 tentang penggunaan produk dalam negeri. Di Kementerian BUMN, hal ini diatur lagi melalui Permen BUMN Nomor : 5/ MBU/2008, tentang pedoman umum pengadaan barang dan jasa BUMN pasal 2 butir 2 untuk mengutamakan produksi dalam negeri, rancang bangun dan perekayasaan nasional. Serta Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor : 49/M-IND/PER/5/2009 tentang pedoman penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah

Tatang menegaskan, aturan tersebut memang memberikan manfaat berupa jaminan keberlangsungan kegiatan industri dalam negeri. Selain itu juga akan mengurangi ketergantungan terhadap produk sejenis dari impor, berikut kandungan teknologinya yang biaya pengadaannya seringkali dinilai tidak wajar bahkan seringkali pada kenyataannya tidak diperlukan. Namun demikian, aturan tersebut harus lebih diperjelas dan dipertajam dalam bentuk Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), sehingga dapat memproteksi produk dalam negeri khususnya di pasar dalam negeri walaupun dengan adanya Asean-China Free Trade Area (ACFTA), dengan tetap memperhatikan aspek Quality Cost Delivery (QCD).

Disamping itu juga harus dapat meminimasi intervensi Komisi Pengawas Persaingan  Usaha (KPPU). Terkait dengan soal perpajakan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255 Tahun 2008 tentang penentuan uang muka pajak badan berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), menyebabkan terjadinya risiko kelebihan bayar, sementara restitusinya sulit dilakukan. “Harusnya kan pembayaran pajak dilakukan berdasarkan realisasi penjualan saja,” ujarnya. Hambatan kinerja lainnya adalah soal modal kerja yang masih menggunakan jasa perbankan yang bunganya cukup tinggi sehingga jika dibandingkan dengan modal kerja perusahaan lain di luar negeri, itu sangat tidak kompetitif.

“Kami sulit dapat dana murah. Apalagi Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 Tentang Tatacara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero), bahwa Persero yang  bergerak disektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara tidak dapat di privatisasi, dengan demikian Pindad tidak diijinkan untuk melakukan IPO. Di sisi lain, dana murah sulit. Harusnya kami dapat subsidi bunga atau diijinkan untuk mendapatkan dana murah dari non perbankan,” tandasnya.

Terkait dengan kegiatan ekspor dan impor, Peraturan Menteri Pertahanan Nomor : PER/14/XI/2007 tanggal 6 November 2007 tentang Rekomendasi Perizinan Untuk Produksi, Ekspor/Impor dan Agen/Distribusi Barang/ Jasa Militer dilingkungan Dephan dan TNI, bahwa ijin ekspor alutsista harus melalui Kemenhan dan Kemendag. “Jujur saja, birokrasi yang panjang dan lama. Inginnya kami, ijin ekspor alutsista diterbitkan Kemenhan dengan tembusan Kemendag,” ujarnya. Apa yang dialami oleh Pindad boleh jadi dialami oleh BUMN strategis lainnya. Adalah kewajiban pemerintah untuk berpihak karena industri alutsista adalah tulang punggung pertahanan dan keamanan, yang tentunya soal kedaulatan negeri ini.

Sumber: Majalah Karya Indonesia Edisi 01 - 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar