Selasa, 31 Januari 2012

Strategi Jitu Merevitalisasi Industri Pertahanan

Strategi Jitu Merevitalisasi Industri Pertahanan

Mitra industri pertahanan Indonesia (foto : Defense Studies)
Industri pertahanan merupakan sektor strategis tetapi dalam beberapa tahun terakhir kinerjanya justru mandek, dan sempat kolaps pada 1997-1998. Akibatnya, persenjataan Tentara Nasional Indonesia nyaris tidak ada pembaruan.

Padahal, Indonesia seperti halnya negara di berbagai belahan bumi ini dihadapkan pada perkembangan lingkungan strategis yang sangat cepat sehingga mempengaruhi fenomena keamanan. Tak ada pilihan lain, industri pertahanan harus digenjot sehingga mandiri dan bisa menggerakkan perekonomian. Guna mewujudkan hal itu Presiden membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dengan Perpres No. 42 Tahun 2010.

Komite ini tidak hanya berperan mengkoordinasikan perumusan, pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan industri pertahanan, tetapi juga mengkoordinasikan kerja sama luar negeri untuk mengembangkan industri pertahanan, melaksanakan pemantauan, hingga evaluasi pelaksanaan kebijakan industri pertahanan. KKIP telah memulai operasi, dan kelompok-kelompok kerja sudah dibentuk sesuai kebutuhan.

Keanggotaan pokja diisi oleh pejabat atau personel dari kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan pihak terkait lainnya. KKIP diketuai oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata, M.T, Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo menjadi anggota komite. Adapun Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Mustafa Abubakar menjadi Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekretaris dijabat Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin, yang juga anggota KKIP.

Dalam Sidang Pleno I 2010, KKIP telah membahas dan menetapkan sejumlah langkah, termasuk pengembangan produk strategis yang perlu ditetapkan program yang harus dapat diwujudkan dalam jangka 5-15 tahun. Produk itu di antaranya produk darat (ranpur), alutsista laut (kapal perusak kawal rudal), dan alutsista udara (pesawat tempur, helicopter Bell 412, CN 235 sebagai pengganti pesawat transport F27). Senin, 28 Februari 2011 KKIP menggelar Sidang Pleno I tahun 2011 untuk menetapkan arah dan sasaran guna dipedomani oleh seluruh anggota beserta jajarannya dan seluruh pihak terkait sesuai dengan wewenangya.

Sidang juga membahas kemajuan program 2010 sekaligus menetapkan program 2011 dan hal–hal lain yang dianggap prioritas. Program 2011 meliputi program normatif, program normatif dinamis, RUU Revitalisasi Industri Strategis Pertahanan dan Keamanan, pengembangan produk strategis, dan evaluasi manajemen BUMNIP. Persenjataan milik TNI dari tahun ke tahun memang mengalami penurunan dan bahkan tidak ada pembaruan. Dalam jangka 5 tahun mendatang (2011-2015), untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal alutsista dibutuhkan Rp 150 triliun.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat optimis industri pertahanan dalam 5 tahun mendatang dapat memenuhi secara optimal kebutuhan produk pertahanan dan keamanan. Namun, pemerintah juga mengusahakan sinergi produksi atau teknologi dari luar negeri. “Dengan melakukan proses ToT [tranfer of technology] diharapkan bisa memperkuat daya saing nasional khususnya dalam bidang ini,” ujar Hidayat.

Dukungan DPR

Hal penting yang dimiliki KKIP dalam dukungan parlemen, yang tertuang dalam kesimpulan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR RI pada Senin 7 Maret 2001, terutama komitmen para wakil rakyat untuk segera menyelesaikan RUU Revitalisasi Industri Pertahanan. Komisi I juga menyatakan penghargaan kepada KKIP yang telah menghasilkan konsepsi, grand strategy, dan master plan revitalisasi industri pertahanan.

“Komisi I meminta KKIP untuk segera mengimplementasikan konsepsi itu melalui road map dan program terperinci, terukur, dan terkontrol,” kata Ketua Komisi I Mahfudz Siddik. Komisi I juga meminta keperpihakan dari pemerintah dengan menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan industri pertahanan nasional. Untuk itu, pemerintah melalui KKIP diminta, pertama segera merestrukturisasi BUMNIP agar perusahaan tersebut baik dan sehat, termasuk di antaranya penyertaan modal negara (PMN).

Kedua, memberi jaminan pemasaran produk–produk pertahanan dalam negeri, khususnya dalam pengadaan di lingkungan TNI/Polri dan lembaga pemerintah lainnya. Ketiga, memberikan kemudahan melalui berbagai regulasi yang selama ini menghambat pengembangan industri pertahanan, seperti insentif fiskal.Keempat, menjamin alih teknologi dan peningkatan penggunaan komponen local dalam setiap pengadaan produk dari luar negeri guna mengurangi ketergantungan alutsista. Selama ini Indonesia masih mengandalkan pasokan alat-alat pertahanan dari luar negeri.

Kelima mencukupi kebutuhan alutsista dalam negeri sekaligus melakukan perluasan pasar melalui ekspor. Keenam, menyusun tahapan penyelesaian berbagai penghambat pengembangan BUMNIP disertai jadwal terperinci, agar berbagai masalah itu jelas penyelesaiannya.

Nah, ini yang coba diterobos oleh Komisi I. Ada langkah-langkah, lompatan-lompatan signifikan karena jika ini dibiarkan terlalu lama, ketergantungan alutista kita pada luar negeri tinggi,” jelas Mahfudz. Pemerintah juga diminta melibatkan Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional dalam setiap pembahasan di KKIP. Mustafa Abubakar mengatakan struktur organisasi BUMN strategis sedang dievaluasi. Ada tiga kesulitan mendasar pada industri ini, yaitu kesulitan keuangan, kurang kuat manajemen, dan perlunya penguatan pemasaran.

Namun, BUMN ini diyakini bisa mencapai titik impas (break even point) kalau rencana yang digariskan KKIP berhasil. Pembiayaan industri pertahanan dilakukan kontrak perkontrak guna memperkuat dan memberi kepastian kepada BUMN, serta memperkuat organisasi dan manajemen, termasuk mengganti order luar negeri dan kerja sama dengan perusahaan, seperti Boeing dengan PT Dirgantara Indonesia (DI). Pembenahan juga dilakukan dengan cara menghindari penggunaan subkontraktor yang ditengarai membuat biaya operasional tinggi.

”Subkontraktor berimplikasi pada mark up. Ini jadi concern agar industri strategis lebih kompetitif,” kata Abubakar. Selain itu, secara operasional industri strategis akan melakukan kerja sama, baik dengan industri dalam negeri maupun dari luar negeri. Sjafrie mengungkapkan kerja sama yang sedang berjalan, a.l. PT PAL dengan Pemerintah Belanda untuk membuat kapal perusak kawal rudal, PT Pindad dengan Perancis dan Korea Selatan untuk membuat panser Tarantula dengan canon 90 mm. Adapun PT DI menggandeng Amerika Serikat untuk membuat 18 helikopter Bell 412.

Terkait kendala pendanaan, Menterei Pertahanan memastikan hal itu telah dibahas dalam RUU Revitalisasi Industri. Pemerintah akan mengusahakan sumber dana lain, di samping kredit ekspor, seperti surat utang negara atau pinjaman dari dalam negeri. Pemesanan dan produksi juga diatur dalam RUU itu. Konsekuensinya, industri strategis harus mampu meningkatkan produktivitasnya. ”Tujuannya, industri pertahanan harus dapat menciptakan pergerakan dalam ekonomi nasional,” kata Sjafrie.

Sumber: Media Industri No.1 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar