Selasa, 31 Januari 2012

Industri Pertahanan, PT Dahana

Membangun Kemandirian Bangsa di Bidang Industri Bahan Eksplosif


Kebutuhan bahan peledak (eksplosif ) di dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir ini terus memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Hal itu tidak terlepas dari makin maraknya kegiatan usaha pertambangan di dalam negeri seiring dengan terus meningkatnya harga komoditi tambang di pasar internasional.

Wilayah Indonesia yang kaya akan berbagai sumber daya mineral seperti batubara, granit, bauksit, nikel, tembaga, emas, perak dan lain-lain telah menjadi tujuan investasi di bidang pertambangan yang sangat menarik, baik bagi pengusaha lokal maupun asing. Karena itu, tidak mengherankan apabila kegiatan investasi di bidang usaha pertambangan terus meningkat melebihi kegiatan investasi di sektor-sektor usaha lainnya.

Namun sayangnya di tengah kondisi pasar yang cukup kondusif bagi usaha industri bahan peledak komersial tersebut, pasar bahan peledak di dalam negeri justru lebih banyak diisi oleh produk-produk bahan peledak buatan perusahaan produsen bahan peledak dari luar negeri.

PT Dahana (Persero) merupakan salah satu perusahaan BUMN strategis yang mengkhususkan diri dalam industri bahan peledak. Berdiri sejak tahun 1966, PT Dahana menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang menggeluti industri bahan peledak. Saat ini perusahaan ini memiliki kapasitas produksi Amonium Nitrat sebesar 200.000 ton per tahun.

Dengan memanfaatkan bahan dasar berupa Amonium Nitrat itulah PT Dahana mengembangkan berbagai produk bahan peledak untuk keperluan komersial seperti untuk perusahaan pertambangan. PT Dahana juga menjalin kerjasama dengan PT Pindad untuk pembuatan detonator listrik di Turen, Malang, Jawa Timur.

Sementara itu, persaingan produk bahan peledak untuk keperluan komersial di dalam negeri selama ini sudah begitu ketat. Hal itu terjadi karena banyaknya produk bahan peledak impor yang masuk ke pasar dalam negeri. Padahal di dalam negeri sendiri saat ini terdapat tiga perusahaan produsen bahan peledak komersial, yaitu PT Pindad (persero), PT Multi Nitrotama Kimia dan PT Dahana (Persero) sendiri.

Ketiga perusahaan tersebut memiliki fasilitas produksi di dalam negeri. Namun selain tiga perusahaan pabrikan itu, masih ada enam perusahaan bahan peledak lainnya yang selama ini berperan sebagai distributor/penyalur bahan peledak impor. Mereka umumnya melakukan kerjasama dengan produsen bahan peledak di luar negeri untuk memasarkan produk mereka di Indonesia.

PT Dahana (Persero) bersama kedua produsen lainnya kini hanya menguasai pangsa pasar bahan peledak komersial (bukan untuk keperluan militer) di dalam negeri sekitar 30%, sedangkan sebagian besar lainnya (sekitar 70%) dikuasai oleh produk perusahaan lain yang nota bene merupakan produk impor. Leluasanya produk impor menguasai pasar bahan peledak di dalam negeri itu merupakan cerminan bahwa pasar dalam negeri kini sudah sangat terbuka. Karena, Indonesia sendiri telah menentukan pilihannya untuk menganut regim perdagangan yang liberal.

Kebutuhan bahan peledak di dalam negeri dewasa ini diperkirakan sebesar 200.000 ton per tahun, sedangkan pasokan dari dalam negeri baru 30.000 ton dari PT MNK dan 30.000 ton lagi dari PT Dahana. Sisanya dipasok oleh bahan peledak impor dari China, Afsel, Mesir, Rusia, Ceko, Norwegia, Australia dan lain-lain.

Untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang terus meningkat, PT Dahana (Persero) bekerjasama dengan sejumlah perusahaan mitra seperti PT Suma Energy (untuk pendanaan), PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Parna Raya (produsen amoniak), dan Yara dari Norwegia (untuk lisensi teknologi produk dan proses) berencana untuk membangun pabrik Amonium Nitrat baru di Kalimantan Timur.

Pabrik Ammonium Nitrat patungan tersebut direncanakan memiliki kapasitas produksi sebesar 250.000 ton per tahun dan akan memakan dana investasi awal sekitar US$ 150 juta. Pembangunan pabrik baru yang diperkirakan akan mulai memasuki trial production pada tahun 2009 itu kini masih dalam tahap persiapan sinergi kerjasama.

Untuk mendukung bisnis bahan peledak di dalam negeri, PT Dahana juga memiliki on site plant di lokasi tambang granit milik PT Karimun Granit di Kepulauan Riau dengan kapasitas produksi 5.000 ton per tahun dalam bentuk Emulsion Explosive Matrix (EEM).

EEM merupakan bahan baku untuk pembuatan bahan peledak untuk keperluan komersial seperti untuk kebutuhan proses blasting di areal pertambangan terbuka. EEM bersama Amonium Nitrat dan bahan tambahan lainnya merupakan bahan untuk membuat adonan (emulsion blend) untuk memproduksi bahan peledak pada unit produksi bergerak atau (Mobile Manufacturing Unit/MMU).

Di wilayah Kuasa Pertambangan PT Karimun Granit, PT Dahana kini mengoperasikan dua buah MMU yang masing-masing mampu memproduksi sekitar 2.500 ton emulsion blend (bahan peledak) setiap tahunnya. Emulsion blend itu biasanya digunakan untuk proses peledakan di areal pertambangan. Dalam proses peledakan, emulsion blend biasanya dimasukan ke dalam lubang peledakan yang sebelumnya sudah disiapkan dengan cara dibor. Kemudian dengan menggunakan kabel yang disambungkan ke detonator seorang operator dapat melakukan proses peledakan.

Untuk menciptakan produk bahan peledak siap pakai yang handal dan kompetitif, PT Dahana terus melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D). Kegiatan litbang tersebut telah berhasil menemukan produk bahan peledak bulk emulsion yang kini sudah dipatenkan atas nama PT Dahana. Keunggulan bahan peledak hasil penemuan litbang PT Dahana itu diantaranya adalah bulk emulsion dapat digunakan pada proses peledakan di lubang bor basah (berair).

Atas prestasi tersebut PT Dahana mendapatkan penghargaan Rintisan Teknologi Tahun 2007 dari pemerintah c.q. Departemen Perindustrian yang penghargaannya diserahkan langsung oleh Presiden SBY di Istana Negara. Kebijakan mutu yang dikembangkan PT Dahana selama ini juga telah melahirkan prestasi lainnya, yaitu diraihnya sertifikat mutu ISO-9001-2000. Untuk keselamatan di lingkungan pabrik, PT Dahana juga menerapkan standard OSAS 18001 yang merupakan safety management system.

Setelah sempat dihentikan selama 14 tahun akibat musibah ledakan pabrik pada tahun 1976, kegiatan R&D di PT Dahana kembali dilakukan sejak tahun 1990 bersamaan dengan keluarnya izin pemerintah mengenai hal tersebut. Hal itu tidak terlepas dari pembentukan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) pada tahun 1990 dimana PT Dahana termasuk di dalam pengelolaan badan tersebut. Selang tiga tahun kemudian PT Dahana berhasil memperkenalkan produk baru berupa bulk emulsion yang merupakan hasil pengembangan PT Dahana sendiri.

Sumber: Kina No 5 - 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar